Hampa


Untuk semua rasa yang seharusnya sejak dulu ku tinggalkan. Untuk semua hasrat ingin memiliki, walau tak tau harus melakukan apa. Ingin sekali kuucapkan sampai jumpa, tapi otakku tak lagi sejalan dengan lidahku.

Pernahkah kalian merasakan kehampaan? Ya, hampa. Ada yang tak biasa. Kosong. Aku tak tau apa yang berbeda. Aku tak mengerti dengan apa yang menderu batinku. Rasanya—rasanya seperti—kau sedang mengharapkan sesuatu yang tak jelas itu apa, tapi kenyataan menghadapkanmu pada apa yang tak sesuai dengan harapanmu. Lalu kau meraba-raba, mencari apa yang salah, tapi kau tak menemukan apa-apa selain orang-orang yang bisu dan tuli. Kau bertanya, berteriak, tapi yang terdengar hanya gema tanyamu. Seperti itulah rasanya.
---
Waktu itu mata ku menangkap hal lain. Ketika dia sedang berjalan ke arahku, orang yang entah mengapa dan bagaimana membuatku membeku ketika aku merasakan keberadaannya. Membuatku melambung tinggi ketika ada sesimpul senyum di bibirnya. Bayangnya yang selalu hadir di setiap mimpi-mimpiku. Sosok itu membuatku terpaku, terkunci rapat-rapat dalam pikiranku tentangnya. Dia tersenyum padaku, mengucapkan serentetan kata yang tak terlalu ku perhatikan—karena telingaku seakan terkatup rapat dalam belenggu perasaan ini—sementara otakku melayang ke tempat dimana aku menatap dia—yang sedang bersama seorang gadis—lekat-lekat. Saat itu dia baik-baik saja, dia terlihat sama seperti biasa. Lalu apa yang ku khawatirkan?
Tentang keberadaan gadis itu, jelas aku mengkhawatirkannya—sulit sekali bagiku untuk mengakuinya— aku, mengkhawatirkan keberadaannya disamping orang itu. Dia bukan hanya tersenyum pada gadis itu, mereka bahkan tertawa, bahagia jelas tersirat disana. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku, orang yang hanya bisa berharap dirinya mendapat kesempatan berada di posisi gadis itu, bukan hanya duduk menatap seperti ini. Kenyataan. Itu mustahil. Aku, aku bahkan takut untuk memulai percakapan, bagaimana bisa aku membuat dia tertawa kalau seperti ini caranya? Aku, aku semakin diperhadapkan dengan kenyataan. Aku takut, semakin lama rasa sakit ini semakin mendalam. Ini saatnya untuk membuka diri dan melepas segala harapan yang selama ini menggantung di relung hatiku.
Tapi kini, aku digoyahkan dalam usahaku. Dia tersenyum padaku, membuatku bingung harus bagaimana. Aku terkunci sekarang, aku bertekad untuk menjauh darinya, tapi kini senyum itu melunturkan semuanya. Aku berharap bisa membekukan saat-saat dimana dia tersenyum dan hidup di dalam senyuman itu selamanya, tapi gadis itu masih menjadi pergolakan. Apa aku harus terus berharap atau tetap bersikukuh dalam usahaku?
---
Aku masih duduk di pinggir tempat tidurku sejak tadi aku terbangun dari tidurku. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku tak tahu berapa lama, tapi terakhir kali aku melihat masih ada sinar matahari dibalik tirai jendelaku. Sementara kini kamarku benar-benar gelap, aku tak berniat untuk menghidupkan lampu ataupun menutup tirai jendelaku. Sinar bulan menyelinap dari sana. Aku memperhatikan sinar itu dan pikiranku melayang tentang apa yang kupikirkan hingga membuatku kelelahan sampai tertidur seperti ini. Oh ya, tentang sikapku yang seharusnya. Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Ada perasaan yang membuatku mengutuk diri karena telah tergoyahkan. Keputusanku untuk tetap berharap akan dirinya memang salah, akhirnya aku menyadari itu. Sayangnya, semua ini terlambat. Dia, kini telah bersama gadis itu. Aku sudah masuk ke sumur yang dalam. Kini, aku harus siap dengan segala rasa sakit saat aku tiba didasar sumur ini. Aku harus siap dengan rasa sakit yang sebentar lagi akan menderu mata ku yang akan melihat mereka berdua. Aku seharusnya bahagia, ya, itu sikapku yang seharusnya. Seharusnya aku tersenyum setulus mungkin. Tapi aku benar-benar memerlukan topeng untuk melakukan semua ini.
Harapanku tak terwujud. Aku merasa hampa, benar-benar hampa. Bayang mereka berkelebat di benakku. Aku mencoba tetap bahagia, walau sulit rasanya. Mengubur segala rasa dan angan yang sudah terbangun sekian lama. Tapi tetap saja, aku tak mampu melakukannya. Aku masih tetap mencintai dirinya, disini. Masih berharap bisa menggenggam tangannya kapanpun ku mau. Malam ini, aku berharap ia juga memandang sinar bulan ini, dimana pun ia berada. Untukmu, aku hanya ingin kau membaca sinar bulan yang menggambarkan perasaanku. Walau sakit menderu seisi jiwa, aku  akan terus berusaha untuk mencintaimu, walau dengan cara yang berbeda. Mencintaimu, yang bukan berarti aku bisa memilikimu. Mencintaimu, yang berarti aku selalu mengusahakan agar kau selalu bahagia, walau bukan disisiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Labirin

Takut?

Return